Blog Sastra ini berisi tentang Rumah bapak dan simbok Sarmin terletak di desa Pucanganom, Gunung
Kidul, Yogyakarta. Rumah itu berdinding gedek, beratap genteng murahan,
dan berlantai tanah. Meskipun sangat sederhana, rumah itu cukup luas,
dengan pekarangan yang juga luas. Di samping kiri, kanan, depan, dan
belakang rumah itu, masih ada tanah tersisa, yang ditanami singkong,
pisang, temulawak, lamtoro, nangka, dan macam-macam. Rumah itu menghadap
ke jalan desa. Rumah para tetangga,
berbentuk sama, dengan bahan bangunan yang juga sama. Disitulah Sarmin
lahir dengan bantuan bidan desa, dan kemudian tumbuh menjadi besar
bersama dengan kambing, sapi, ayam, entok, burung prenjak, tikus, cicak,
lalat, nyamuk, laba-laba, kelabang, dan kalajengking.
Sarmin merasa dirinya terbuat dari singkong. Tepatnya dari tiwul dan
gatot. Dia merasa darahnya, dagingnya, tulang-tulangnya, jantungnya,
ginjalnya, otaknya, semua terbuat dari singkong. Singkong memang
dicampur sedikit jagung, kadang sedikit beras, lalu dimakan dengan
tempe, ikan asin, cabai, garam, terasi, bawang putih, kadang kalau ada
selamatan, maka ada pula ayam dan daging sapi. Tapi itu jarang sekali.
Sarmin merasa bahwa dirinya adalah saripati singkong. Singkong segar itu
dicabut pada bulan Juli yang panas, dikupas, dijemur sampai kering dan
menjadi gaplek. Pada musim paceklik, gaplek ini ditumbuk, diayak, diberi
sedikit air, digumpalkan, diremahkan, lalu dikukus menjadi tiwul. Tiwul
itulah yang kemudian menjadi darah dan dagingnya, juga menjadi otak di
kepalanya.
Ditulis oleh F.Rahardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar